Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia

Proses belajar mengajar di masjid era modern. Foto oleh Alena Darmel (pexels.com)

Sejarah pendidikan Islam tak lepas dari dinamika sosio-kultural masyarakat Arab pra-Islam. Pada masa itu, pola pendidikan Nabi Muhammad SAW di Mekkah dan Madinah sangat dipengaruhi oleh karakter masyarakat setempat. Di Mekkah, tradisi keras nenek moyang membuat penyebaran Islam berjalan lambat, sementara di Madinah, kondisi sosial yang lebih terbuka memungkinkan Islam berkembang pesat. Mengapa perbedaan ini terjadi, dan bagaimana warisan pendidikan Islam awal tersebut membentuk lembaga pendidikan di Indonesia? Simak ulasannya!

Pengaruh Budaya Lokal pada Pendidikan Islam Awal

Masa Mekkah: Pendidikan Diam-Diam di Tengah Tekanan

Sebelum Islam datang, masyarakat Mekkah dikenal keras kepala dan fanatik terhadap tradisi leluhur. Mereka menolak perubahan, termasuk ajaran tauhid yang dibawa Nabi Muhammad. Akibatnya, pendidikan Islam awal dijalankan secara rahasia di Rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam – tempat tersembunyi yang aman dari pengawasan suku Quraisy. Di sini, Nabi mengajarkan dasar-dasar Islam kepada keluarga dan sahabat terdekat, seperti konsep keesaan Allah, akhlak mulia, dan baca-tulis Al-Qur’an.

Madinah: Masjid Sebagai Pusat Peradaban

Berbeda dengan Mekkah, penduduk Madinah (khususnya suku Aus dan Khazraj) justru merindukan pemersatu untuk menghentikan perseteruan internal dan melindungi diri dari ancaman Yahudi. Kedatangan Nabi menjadi solusi. Masjid Nabawi tak hanya digunakan untuk salat, tetapi juga jadi kampus pertama umat Islam – tempat diskusi hukum, ekonomi, hingga strategi perang. Kondisi geografis Madinah yang subur juga mendukung stabilitas sosial, memungkinkan pendidikan berjalan lebih terbuka dan sistematis.

Pendidikan Islam di Indonesia: Akulturasi Budaya dan Kearifan Lokal

Ketika Islam masuk ke Nusantara, sistem pendidikannya beradaptasi dengan budaya lokal, melahirkan tiga model lembaga unik:

1. Kuttab: Sekolah Baca-Tulis Berbasis Al-Qur’an

Kuttab (dari kata kataba = menulis) awalnya adalah lembaga baca-tulis pra-Islam di Arab. Setelah diadopsi di Indonesia, Kuttab berfungsi ganda:

  • Pendidikan Literasi: Menggunakan puisi Arab dan Al-Qur’an sebagai materi utama.

  • Pendidikan Agama: Menghasilkan penghafal Al-Qur’an (hafidz) yang paham maknanya.

Menurut sejarawan Philip K. Hitti, Kuttab berkembang pesat seiring ekspansi Islam. Di pedesaan Jawa, Kuttab dikenal sebagai “langgar” atau “surau”, tempat anak-anak belajar mengaji sambil mengenal budaya lokal melalui cerita wayang. Uniknya, Kuttab di Nusantara sering diadakan di teras rumah guru atau bawah pohon rindang – mencerminkan kesederhanaan dan kedekatan dengan alam.

2. Pesantren: Lembaga Otonom di Pedalaman

Pesantren berasal dari kata “santri” (penuntut ilmu) dan “pondok” (asrama). Lembaga ini disebut “miniatur Madinah” karena memadukan lima unsur utama:

  • Kyai: Figur sentral yang menguasai kitab kuning (buku klasik berbahasa Arab).

  • Santri: Murid yang tinggal di asrama untuk belajar agama dan hidup mandiri.

  • Masjid: Pusat ibadah dan diskusi keilmuan.

  • Kitab Kuning: Kurikulum berbasis karya ulama abad pertengahan seperti Imam Ghazali.

  • Pondok: Asrama yang mengajarkan kesederhanaan dan kebersamaan.

Pesantren pertama di Indonesia, seperti Pesantren Tegalsari (Jawa Timur), didirikan abad ke-15. Selain mencetak ulama, pesantren juga menjadi benteng melawan penjajah. Contohnya, Pesantren Sukamanah pimpinan KH. Zainal Musthafa mengobarkan perlawanan terhadap Belanda di Tasikmalaya.

3. Madrasah: Integrasi Ilmu Agama dan Umum

Madrasah (dari bahasa Arab “madrasatun” = tempat belajar) adalah jawaban atas kebutuhan pendidikan modern di era kolonial. Berbeda dengan pesantren yang fokus pada kitab kuning, madrasah memperkenalkan sistem kelas, bangku, dan papan tulis. Jenjangnya terbagi menjadi:

  • Madrasah Ibtidaiyah (MI): Setara SD, mengajarkan dasar-dasar agama dan matematika.

  • Madrasah Tsanawiyah (MTs): Setara SMP, dengan tambahan sains dan sejarah Islam.

  • Madrasah Aliyah (MA): Setara SMA, mempelajari fikih kontemporer dan bahasa asing.

Keunikan madrasah di Indonesia adalah kurikulumnya yang diakui negara (via UU Sisdiknas No. 20/2003), memungkinkan lulusannya melanjutkan ke perguruan tinggi umum.

Nilai Luhur yang Tetap Relevan

Meski berbeda bentuk, Kuttab, pesantren, dan madrasah memiliki DNA yang sama:

  1. Pembelajaran Holistik: Tidak hanya mengejar IQ, tetapi juga membangun akhlak (SQ) dan kemandirian (EQ).

  2. Kearifan Lokal: Menggunakan bahasa daerah dalam pengajaran, seperti bahasa Jawa di pesantren NU atau Sunda di Pesantren Cipasung.

  3. Ketahanan Sosial: Selama pandemi COVID-19, banyak pesantren menjadi pusat distribusi sembako dan vaksinasi mandiri.

Tantangan di Era Digital

Generasi muda kini lebih akrab dengan TikTok daripada kitab kuning. Menghadapi ini, lembaga pendidikan Islam perlu inovasi:

  • Kuttab Virtual: Platform mengaji online dengan animasi interaktif.

  • Pesantren Teknologi: Seperti Pesantren Programmer di Bandung yang ajarkan coding dan robotik.

  • Madrasah Digital: E-learning berbasis aplikasi untuk akses materi lintas daerah.

Penutup: Pendidikan Islam sebagai Penjaga Identitas Bangsa

Dari Rumah Al-Arqam hingga Madrasah Aliyah, pendidikan Islam terus berevolusi tanpa kehilangan jati diri. Lembaga-lembaga ini bukan hanya tempat menimba ilmu, tetapi juga benteng moral di tengah derasnya globalisasi. Dengan memadukan tradisi dan modernitas, pendidikan Islam Indonesia siap mencetak generasi yang tak hanya pintar secara akademis, tetapi juga berkarakter Qur’ani.

Posting Komentar untuk "Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia"